Gemuruh ledakan kembang api membuat aku tidak dapat memejamkan mata. Padahal terasa ngantuk sekali. Aku menatap handphone beberapa lama, lalu melirik diam-diam ke arah jam, menatap langit-langit kamar yang sama. Menatap lemari, meja rias dan rak buku juga masih sama. Tak ada yang beda disini.
Aku masih bernafas, jantungku masih berdetak dan denyut nadiku masih bekerja dengan normal.
Memang semua terlihat mengalir dan bergerak seperti biasa.
Tapi apakah yang terlihat oleh mata benar benar sama dengan yang dirasakan oleh hati.
Mataku berkunang-kunang, malam ini terasa sangat dingin. Aku menarik selimut dan membiarkan wajahku tenggelam disana. Dan tetap saja aku tak menemukan kehangatan.
Tetap menggigil, aku sendirian dengan kenangan yang masih menempel dalam sudut-sudut ruas otak seakan membekukan kinerja hati.
Aku berharap semua hanya mimpi dan ada seseorang dengan sukarela membangunkanku atau menampar wajahku dengan sangat keras.
Sungguh aku ingin tersadar dari bayang-bayang yang terlalu sering ku kejar.
Sekali lagi aku masih sendiri, bermain dengan masa lalu.
Yang sebenarnya tak pernah ingin ku ingat lagi.
Sudah tanggal 01 Januari di tahun 2014. Tahun yang baru, harapan baru, mimpi yang baru dan cita-cita baru, juga kadang tak ada yang baru. Aku hanya ingin kau tahu tak semua yang baru menjamin kebahagiaan dan tak semua yang disebut masa lalu akan menghasilkan air mata.
Aku begitu yakin pada hal itu, sampai pada akhirnya aku tahu rasanya perpisahan.
Aku tahu rasanya melepaskan diri dari segala hal yang sebenarnya tak pernah ingin ku tinggalkan.
Aku semakin tahu masa lalu setidaknya selalu jadi sebab kamu yang dulu ku miliki tak lagi bisa ku genggam dengan jemari.
Kita berpisah tanpa alasan yang jelas, tanpa diskusi dan interupsi. Iya berpisah begitu saja. Seakan-akan semuanya hanya masalah sepele. Bisa begitu mudah disentil oleh 1 hentakan kecil sangat mudah!!!.
Sampai aku tak bena-benar mengerti.
Apakah kita memang telah benar-benar berpisah???
atau dulu sebenarnya kita tak punya keterikatan apa-apa???
Hanya saja aku dan kamu senang mendengungkan rasa yang sama.
Cinta yang dulu kita bela begitu manis berbisik, lirih, dingin, dan mempesona.
Segala yang semu menggoda aku dan kamu kemudian menyatulah kita dalam rasa yang katanya cinta.
Aku mulai berani melewati banyak hal bersamamu. Kita habiskan waktu dengan langkah yang sama dengan denyut yang tak berbeda, begitu seirama tanpa celah, tanpa cacat, sempurna dan aku bahagia.
Bahagia. Benarkah aku dan kamu pernah merasa bahagia?
Jika iya mengapa kita memilih perpisahan sebagai jalan.
Jika bahagia adalah jawaban mengapa aku dan kamu masih sering bertanya tanya?
Pada Tuhan, pada manusia lainya dan pada hati kita sendiri. Kenapa kau harus ubah mimpi menjadi api? Mengapa kau ubah pelangi menjadi buih?
Mengapa harus kau ciptakan luka? jika selama ini kau merasa kita telah sampai di puncak bahagia.
Kegelisahan ku meningkat ketika aku memikirkan mu.
Aku bahkan masih mengkhawatirkanmu, masih diam-diam mencari tahu kabarmu dan aku masih merasa sakit jika sudah ada yang lain yang mengisi kekosongan hatimu.
Seharusnya aku tak perlu merasa seperti itu. Karna kau masa lalu, karna kita tak terikat apa-apa lagi.
Benar akulah yang bodoh, yang tak memutuskan diri untuk berhenti.
Aku masih berjalan terus berjalan dengan penutup mata yang tak ingin ku buka.
Semuanya gelap, tanpamu kosong.
Ternyata hari berlalu dengan sangat cepat sudah sebulan dan sudah terhitung lagi berapa frase kata yang terucap untukmu di dalam doa.
Salahku yang terlalu perasa.
Salahku yang mengartikan segalanya dengan sangat berani.
Kupikir dengan ikuti aturanku semua akan semakin sempurna.
Lagi dan lagi aku salah.
Dan kamu memilih untuk pergi, ini juga salahku karna tak mengunci langkahmu ketika ingin menjauh.
Setelah perpisahan itu hari-hari yang ku lalui masih sama.
Aku masih mengerjakan rutinitas ku. Kali ini semua berbeda, tak ada kamu yang dulu, tak ada kita yang dulu.
Semua kenangan memang berasal dari masa lalu, tapi tetap punya tempat tersendiri dalam hati yang sedang bergerak ke masa depan.
Hidupku tak lagi sama dan aku masih berjuang untuk melupakan sosokmu yang tak lagi terangkum oleh pelukan.
Padahal aku masih jalani hari yang sama aku masih menjadi diriku dan jiwaku masih lekat dengan tubuhku.
Tapi masih ada yang kurang dan berbeda.
Kesunyian ini bernama TANPAMU.
Jika jemari ditakdirkan untuk menghapus air mata, mengapa kali ini aku menghapus air mataku sendiri?
Dimanakah jemarimu saat tak bisa kau hapuskan air mata ku?
Jika kau merindukan kita yang dulu, aku pun juga begitu.
0 komentar